Karya SiswaSMP

Cerpen “Perjalanan Ke Masa Lalu”

Perjalanan Ke Masa Lalu

Oleh Keyra Sabila Danish Nugraha

 

Di zaman ini, semua telah berubah.

18 Oktober, tahun 2123, semua telah sangat berubah. Bahan bakar fosil telah diganti oleh listrik. Tenaga listrik tersebut dari mana, kami tidak pernah tahu. Pemerintah selalu menyembunyikan semuanya. Kami tidak punya waktu untuk memikirkan itu.

Pohon? Apa itu pohon? Kami di zaman ini hanya bisa melihat tanaman buatan yang katanya ‘abadi’ dan menghirup udara buatan yang setiap dua bulan harus kami bayar. Apa pula itu buku? Semua orang sudah jarang membaca walaupun di internet telah banyak buku yang didigitalkan. Semua orang terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan gawainya. Dasar manusia.

Ini semua melelahkan, berusaha mencari keberadaan buku yang telah menghilang bertahun-tahun. Semua perpustakaan telah dirubuhkan, diganti oleh tempat-tempat wisata atau mall-mall yang tak pernah terlihat sepi. Entah semua buku di perpustakaan itu dibuang kemana.

Hutan pun telah digusur, diganti oleh perumahan-perumahan di mana semua rumah terlihat sama, persis sama. Saking persisnya, kami terkadang salah masuk rumah.

Kemajuan zaman ini bagus, namun aku ingin merasakan hal-hal dulu yang diceritakan oleh kakek buyutku. Wangi kertas buku, rasanya membaca cerita dalam halaman-halaman kertas buku dan bukannya dari hologram yang dipancarkan gawai mungil itu, serta udara segar dan angin yang bertiup.

Namaku Neza, dan aku ingin mengembalikan keberadaan buku dan kehijauan pepohonan ke zamanku yang sudah sangat maju ini.

***

Aku merasa bosan hari ini. Mungkin hari ini aku akan jalan-jalan, kembali mencari keberadaan pohon yang telah lama tidak terlihat. Pikirku sambil menyortir flashdisk-flashdisk yang berserakan di atas mejaku. Aku membuka laci mejaku, mengobok isinya namun malah merasakan sesuatu yang keras dan dingin menyentuh tanganku. Aku menariknya keluar, sebuah kunci. Perak, dan berkarat. Sudahlah. Urusi nanti saja.

“Neza!! Makan siang dulu!” sebuah suara familiar memanggilku dari lantai bawah. Itu Ibuku, seperti biasa beliau akan memanggilku untuk turun dan makan siang.

“Yaa, Maa!” aku menyahut balik dan mengangkat tangan dari flashdisk yang masih berserakan dan bergegas turun. Di lantai bawah, aku menghampiri ruang makan dan memasang senyum lebar pada Mama yang terlihat bahagia.

Papa terlihat sudah duduk di kursi makan, senyumnya pun lebar. Aku balas tersenyum dan duduk, mengambil porsi makan secukupnya dan tak lupa berdoa sebelum makan.

Papa melirikku dan mengangkat alisnya. “Kamu hari ini ada rencana mau jalan-jalan ya, Neza?” tanya Papa. Aku hanya tersenyum. Papa selalu tahu.

“Hehe, iya pa. Aku izin jalan-jalan, ya?”

Papa terlihat berpikir sebentar, “Hmm,” papa terdiam, mengusap dagunya perlahan menandakan ragu-ragunya untuk membiarkanku pergi. “Sama siapa?”

Aku tersenyum tipis. Pertanyaan khas Papa, yang selalu beliau tanyakan ketika aku akan pergi bermain keluar. “Sama Rea, pa.” Rea adalah teman yang dulu pertama kutemui saat aku berusaha membuat komunitas pemulih alam, sebelum itu dibubarkan oleh pemerintah. Entah apa yang mereka pikirkan.

“Oke,” jawab Papa singkat. Lalu setelah itu kami melanjutkan makan siang seperti biasa, dengan obrolan singkat tentang pekerjaan atau sekolah.

***

“Apa kamu tidak bosan melihat pohon-pohon buatan dan hologram digital buku yang sangat kau cintai itu?”

Pertanyaan yang sama, yang selalu dilontarkan oleh Rea setiap dia bertemu denganku. “Kau selalu melontarkan pertanyaan yang sama. Tentu saja jawabannya sama. Aku bosan.”

Kami sedang berjalan di tempat yang mereka sebut ‘hutan’ namun hanya dipenuhi oleh pohon-pohon buatan yang sama sekali tidak membutuhkan sinar matahari. Secara reflex tanganku merogoh saku dan merasakan dinginnya kunci berkarat yang baru saja kutemui. “Oh ya, tadi aku menemukan sesuatu.” Aku menarik kunci di sakuku keluar dan menunjukkannya pada Rea. “Kunci. Perak, berkarat pula. Kutemukan di laci.”

Rea mengambil kunci itu dari tanganku lalu memeriksanya dekat-dekat. “Menarik. Mirip kunci kuno. Mungkin ini sebuah kunci untuk – sesuatu. Aku tidak tahu.”

“Tunggu sebentar, ini apa?” tanya Rea, Rea menunjuk pahatan angka-angka kecil di pangkal kunci yang terlihat asing itu. “Angka-angka aneh. Ini mirip kode maps, lho! Coba cek!”

Aku mengerutkan alis. Masa tiba-tiba kode maps? Rea aneh. “Mana? Coba sini!” Rea menyerahkan kunci itu padaku. Aku menyalakan gawai mungilku itu, membuka aplikasi maps dan memindai angka aneh itu. Masa ini kode maps?

Ting!

“WAH! BENER ADA LOKASINYA! NEZA, AKU KEREN BANGET!”

Teriakan Rea berdenging di telingaku. Astaga, bahagia sekali anak itu. “Dasar anak aneh. Ya sudah, ayo ke sana!”

***

Sudah satu jam berlalu.

Kami mengikuti jalur dari maps itu. Jauh sekali tempatnya. Kakiku sudah pegal, tapi Rea masih terlihat bersemangat, entah anak itu makan apa hari ini. “Kakiku pegal sekali… Rea, kakimu tidak pegal kah?”

“Tidak. Ini menyenangkan, Neza! Bagaimana jika kita menemukan harta karun?”

Benar juga kata Rea. Mungkin kami dapat menemukan sesuatu yang bagus. Sesuatu… mungkin bibit-bibit pohon? Atau setumpuk buku? Siapa yang tahu. Pikiran tersebut memberi semangat pada kakiku yang mulai pegal.

Setelah beberapa menit, Rea tiba-tiba berlari. Kenapa dia berlari?

“REA! KAU MAU KEMANA–”

Aku berlari mengejar Rea yang tiba-tiba berlari, dan aku malah menabrak punggung Rea yang keras karena dia tiba-tiba berhenti. “Aduh, Rea! Kenapa tiba-tiba berhenti sih? Kan aku jadi nabrak kamu–” perkataanku terpotong, melihat sebuah gubuk yang terlihat tua, kotor, dan agak miring itu di depanku.

“Tempat apa ini?” gumamku pelan, sementara dari ujung mataku bisa kulihat bahwa Rea dengan seenaknya berlari memasuki gubuk tersebut. “Hei, Rea! Jangan asal masuk gitu, dong!”

Aku mengikuti Rea masuk ke dalam gubuk itu, telingaku dapat menangkap Rea yang terkesiap. ASTAGA, BUKU?! Ada tumpukan buku dimana-mana, di dalam gubuk ini. Astaga! Bagaimana bisa? Inikah tempat buku-buku disimpan setelah perpustakaan digusur?

Rea melompat ke antara buku-buku itu dan berteriak bahagia, membuat beberapa buku terlempar berantakan. Dan salah satu buku tersebut mengenai wajahku.

Brukk!!

“Oww, sakit sekali…” aku meringis sambil menggosok hidungku yang sepertinya merah. Sebuah buku mengenai wajahku. Dan sekarang buku itu tergeletak di lantai. Tunggu dulu, tulisan di buku itu aneh. Aku berjongkok, meraih buku bersampul hitam itu dan membuka lembaran-lembarannya yang mulai menguning. Namun baunya sangat khas.

“Rea, lihat ini,” aku memanggil Rea. Rea langsung menghentikan aksi kesenangannya dan menghampiriku dengan raut wajah bingung. Aku menunjukkan buku yang memiliki tulisan aneh itu. Di dalam buku tersebut tertera:

“Neza, kau adalah yang terpilih. Kau akan pergi ke satu abad yang lalu, dan kau diberi waktu dua bulan untuk memperbaiki semua kekacauan yang telah terjadi.”

“Bagaimana buku itu bisa tahu namamu?” Rea mengangkat alisnya padaku, namun aku hanya bisa mengangkat bahu. Tapi, tiba-tiba, rasanya tubuhku seakan disedot… Aku menjatuhkan buku itu ke lantai. Mata Rea melebar, ia mulai mengeluarkan teriakan yang berdenging di telinga, sementara aku hanya terdiam.

Ya, aku tersedot ke dalam buku itu.

***

Aku dimana?

Lorong waktu itu aneh sekali, dan aku malah diturunkan di kamar mandi umum. Aneh. Aku melangkah keluar bilik kamar mandi, mendapati sebuah ruang dengan wastafel yang berjejer dengan kaca besar yang menempel di dinding.

Huh, tidak jauh beda dengan kamar mandi umum tahun 2123. Nah, kalau aku kembali satu abad, berarti sekarang 2023. Tunggu dulu, bagaimana cara memperbaiki kekacauan itu? Apa yang harus kulakukan?

Kulangkahkan kaki keluar dari pintu kamar mandi umum, mendapati udara segar. Tempat ini… menarik. Sepertinya ini sebuah tempat wisata. Aku melihat sekeliling dan terdapat pohon dimana-mana. Indah sekali… aku harap 2123 masih memiliki pohon. Pasti akan sangat menyenangkan, dapat menghirup udara segar gratis setiap hari, setiap detik.

Bagaimana kalau aku melakukan hal yang dulu pernah kulakukan, membuat komunitas pemulih alam? Atau haruskah aku berusaha sendiri?

Ini semua membingungkan…

***

Satu bulan tiga minggu dan 6 hari telah berlalu…

Waktuku di 2023 tinggal sehari. Sekarang sudah hari Sabtu, jam 9 pagi. Dalam kurun waktu itu, aku telah membuat sebuah komunitas pemulih alam dan pelestarian buku. Untungnya, kami sukses besar! Kami diundang untuk melakukan seminar di beberapa tempat ternama, itu semua sangat menyenangkan. Kami juga sempat melakukan reboisasi dan menyumbangkan puluhan buku ke perpustakaan di daerah-daerah terpelosok.

“Neza, rencana kita hari ini mau ngapain?” tanya Aksa – salah satu teman terdekatku dari komunitas pemulih alam dan pelestarian buku yang kubuat, menyunggingkan senyum khasnya yang entah mengapa seperti pernah kulihat sebelumnya.

Aku tersenyum, meletakkan pensil yang baru saja kugunakan untuk menulis di buku biru kecilku. “Eh… mungkin hari ini kita istirahat saja, Aksa. Santai-santai, mungkin makan es krim juga.” Aku tertawa kecil di akhir kalimat. Mendengar kata ‘es krim’, Ilona menolehkan kepalanya dan menyeringai lebar.

“Es krim? Neza yang traktir ya!” Ilona menyahut girang dan semua orang di dalam ruangan berteriak bahagia. Ya sudahlah, mungkin hari ini aku akan mentraktir mereka. Sebagai salam perpisahan tanpa kata.

***

Waktuku tinggal 3 menit.

Ini semua terasa terlalu cepat. Buku bersampul hitam itu telah tergeletak terbuka di depanku, menguarkan aura yang terasa aneh. Tak lama lagi, aku akan pulang. Tadi aku sudah mengambil beberapa kantong bibit pohon untuk nanti di tahun 2123, semoga tanah telah kembali.

Mataku tertuju pada buku bersampul hitam itu, namun pikiranku hanya terpusat pada perkataan Aksa 4 jam yang lalu.

Ia bilang senyum kami mirip, dan ia juga bilang, “Neza, kau sudah sangat berjasa bagi dunia ini. Nanti, jika aku masih hidup, aku akan meminta cucu atau cicitku untuk menamai anaknya Neza, karena orang bernama Neza yang kukenal ini telah sangat berjasa.” Ia tersenyum padaku, sebelum menurunkan kaca helm yang ia pakai dan mulai menjalankan motornya, senyumnya berbekas dalam pikiranku.

Aku hanya tersenyum pahit.

Dan tanpa kusadari, aku telah tersedot lagi oleh buku itu, melewati lorong waktu yang membuat perutku berdisko dan ingin mengeluarkan seluruh isinya.

Sampailah aku, di 2123, di tempat yang mereka sebut ‘hutan’ namun penuh dengan pepohonan buatan. Tunggu, apa aku sudah kembali ke 2123? Yang sekarang kulihat adalah… hutan, yang terlihat asli, penuh dengan dedaunan hijau yang cukup rimbun. Ada beberapa rumah penduduk juga di sini, menyenangkan sekali.

Aku melihat ke bawah. Tanah, aku menginjak tanah! Bukan aspal! Astaga ini sangat mengejutkan! Apa semua usaha kami berhasil? Aku melihat sekeliling, mendapati seseorang yang sedang duduk sambil membaca buku di depan teras rumahnya, sesekali menyeruput teh manis hangatnya.

Namun, tiba-tiba aku dapat merasakan tetes-tetes air mengenai bahuku. Aku mendongakkan kepala, mendapati tetesan air memasuki mataku. Gerimis, di sini sedang gerimis! Ada hujan di 2123? Aku tidak ingat kapan terakhir kali kami mengalami hujan. Menolehkan kepala, aku dapat melihat orang yang sedang membaca buku di teras rumahnya itu langsung berlari masuk ke dalam rumahnya, mulutnya komat-kamit mengomel tentang jemurannya yang belum diangkat.

Aku tertawa bahagia, menikmati tetes-tetes air hujan yang semakin deras.

Berhasil! Aku – kami berhasil!

***

Aksa

Aku menatapnya dari atas sambil menyunggingkan senyum bangga pada cicit jauhku yang dulu saat 2023 kutemui.

Ia sangat membanggakan, aku harap aku masih hidup untuk menyaksikan perubahan-perubahan yang telah ia buat. Sudah menjadi mimpi besarku untuk ikut memperbaiki kekacauan alam ini.

Neza, kau telah berhasil.

Selamat.

 

 

BIODATA

 

Nama                                    : Keyra Sabila Danish Nugraha

Kelas                                     : VIII A

Tempat Tanggal Lahir      : Bandung, 02 Februari 2010

Asal Sekolah                       : SMP Peradaban Serang

Nomor WA                          : 081295080752

 

 

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *